Indonesia menempati peringkat 69 dari 113 negara dalam hal ketahanan pangan secara global, serta peringkat enam dari delapan negara di Asia Tenggara. Dari dimensi Global Food Security Index (GFSI), Indonesia dinilai masih lemah pada dua dimensi utama, yaitu kualitas dan konsumsi pangan, serta SDAdan resiliensi. Skor rendah kedua dimensi ini untuk Indonesia, khususnya di Asia Tenggara, berada di bawah skor rata-rata dunia. Meskipun ada dugaan bahwa data dan informasi yang digunakan dalam penyusunan GFSI untuk kedua dimensi ini belum lengkap dan sepenuhnya akurat, namun penting untuk memperhatikan nilai yang rendah ini sebagai pijakan untuk percepatan perbaikan di kedua dimensi tersebut, Ariani dan Suryana (2023),.


Di tingkat nasional, berdasarkan Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA), masih terdapat 70 kabupaten dari 416 kabupaten dan empat kota dari 98 kota yang termasuk dalam kategori prioritas 1-3, yang menunjukkan wilayah-wilayah rentan terhadap masalah pangan. Mayoritas kabupaten rentan terhadap pangan terletak di wilayah KTI utama di Provinsi Papua, Papua Barat, dan daerah kepulauan seperti Maluku, Maluku Utara, dan Kepulauan Riau. Faktor-faktor utama yang menyebabkan kondisi tersebut adalah kemiskinan, tingginya prevalensi stunting pada anak balita, serta keterbatasan akses rumah tangga terhadap air bersih dan tenaga kesehatan.


Dalam menjaga ketahanan pangan dan pengelolaan sumber daya air di Indonesia, berbagai institusi dan lembaga terlibat secara aktif. Hal ini tergambar dari komitmen Rektor Universitas Pertahanan (Unhan) Republik Indonesia (RI) dalam memperluas program pompanisasi dan pipanisasi guna mendukung pengairan lahan pertanian. Selain itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) juga turut serta dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan mengelola sumber daya air melalui pembangunan bendungan serta perbaikan sistem irigasi. Untuk memahami lebih dalam tentang konsep ketahanan pangan, penting untuk merujuk pada buku "Statistik Ketahanan Pangan" (2022) yang menjelaskan sistem terintegrasi yang mencakup aspek ketersediaan, keterjangkauan, serta kualitas dan keamanan pangan di Indonesia. Dalam konteks ini, pemenuhan konsumsi pangan, terutama beras sebagai makanan pokok bagi sebagian besar penduduk, menjadi fokus utama dalam menjaga stabilitas pangan negara ini. Namun apakah harus selalu beras?


Rektor Unhan RI menegaskan keterlibatan institusinya dalam upaya pompanisasi dan pipanisasi untuk menyediakan air bagi pengairan lahan pertanian. Program-program ini sudah diterapkan di beberapa wilayah dan direncanakan untuk diperluas ke wilayah yang lebih luas.

Selain itu, BNPB dan Kementerian PUPR juga terlibat dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan pengelolaan sumber daya air, termasuk pembangunan bendungan dan perbaikan sistem irigasi.


Peningkatan Alokasi Pupuk dan Dampaknya Terhadap Petani

Pemerintah Indonesia meningkatkan alokasi pupuk bersubsidi dari 4,7 juta ton pada tahun 2023 menjadi 9,55 juta ton pada tahun 2024. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani. Alokasi pupuk yang lebih besar memungkinkan petani untuk menggunakan pupuk secara optimal, sehingga dapat meningkatkan hasil panen. Dalam jurnalnya, Ahsani, A. F. (2021), menyimpulkan bahwa menurut hasil penelitiannya, subsidi pupuk memiliki dampak yang positif dan signifikan terhadap produksi padi. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan alokasi subsidi pupuk akan berdampak sejalan dengan peningkatan produksi padi. Selanjutnya, petani juga dapat memanfaatkan pupuk subsidi untuk membuka lahan tanam baru, sehingga meningkatkan luas area tanam. Sehingga dengan kebijakan ini peningkatan produksi dan luas tanam dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional.

Ahsani (2021) juga menyampaikan, dalam konteks program subsidi pupuk, penting bagi pemerintah untuk melakukan peninjauan terhadap alokasi dan distribusi pupuk bersubsidi demi meningkatkan efektivitasnya. Selain itu, perlunya meninjau kembali kebijakan jangka panjang terkait alokasi subsidi pupuk disoroti karena adanya kemungkinan biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh. Bagi petani, aspek kepastian dan akses terhadap pupuk dianggap lebih vital daripada harga pupuk itu sendiri. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan untuk meregulasi harga pupuk non-subsidi dan harga output hasil pertanian, seperti padi, guna meningkatkan atau menjaga efisiensi skala bagi petani.

Peningkatan alokasi pupuk bersubsidi memiliki potensi untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani di Indonesia. Namun, perlu ada upaya untuk memastikan efisiensi penggunaan pupuk, akurasi penyaluran pupuk, dan keberlanjutan program.


Strategi Mengatasi Dampak El Nino dalam Sektor Pertanian

Rektor Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan RI), Letnan Jenderal TNI Jonni Mahroza, Ph.D., yang hadir dalam diskusi bersama Menteri Pertanian RI, Dr. Ir. H. Andi Amran Sulaiman, M.P., yang bertujuan untuk membahas dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian. Diskusi yang berlangsung di Kantor Pusat Kementerian Pertanian RI pada Selasa (27/2) ini juga dihadiri oleh sejumlah pejabat tinggi, termasuk Staf Khusus Menhan RI, Letnan Jenderal TNI (Purn.) Dr. Sjafrie Sjamsoeddin, dan Letnan Jenderal TNI (Purn.) Ida Bagus Purwalaksana, S.I.P., M.M.

Dalam diskusi tersebut juga membicarakan tentang bagaimana meningkatkan produktivitas pertanian dalam menghadapi tantangan perubahan iklim, terutama dampak dari fenomena El Nino.

Lebih lanjut, Menteri Pertanian RI juga menyampaikan bahwa hasil rapat terbatas bersama Presiden RI, yang dihadiri oleh Menteri Pertahanan, Menteri BUMN, Menteri Perekonomian, Kepala Badan Pangan, Menteri Keuangan, dan Direktur Utama Bulog, menghasilkan peningkatan alokasi pupuk dari semula 4,7 Juta Ton menjadi 9,55 Juta Ton. Hal ini diharapkan akan mendorong para petani untuk segera melaksanakan penanaman. Menteri Pertanian RI telah mengambil langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi dampak El Nino yang sedang terjadi.

Langkah-langkah yang diambil antara lain:

  1. Pompanisasi Sungai-Sungai Besar di Jawa: Salah satu contohnya adalah sungai Bengawan Solo. Dengan memompa air dari sungai-sungai besar ini, diharapkan dapat mengatasi kekeringan dan memastikan pasokan air untuk pertanian.
  2. Pembangunan Bendungan: Kementerian PUPR akan membangun bendungan yang akan mengairi 200 ribu hektar lahan. Indeks produktivitas (IP) yang semula 120 akan ditingkatkan menjadi 240 (naik dua kali lipat). Ini akan membantu meningkatkan ketahanan air dan produktivitas pertanian.
  3. Optimalisasi Lahan dengan Teknologi Baru: Kementerian Pertanian bekerja sama dengan Unhan RI yang memiliki teknologi eksplorasi air untuk sumur dalam dan dangkal. Teknologi ini telah teruji di wilayah Kabupaten Gunung Kidul, DIY Jawa Tengah, dan berhasil mengaliri lahan seluas 1000 hektar dengan biaya 14 miliar rupiah. Langkah ini akan diterapkan di daerah-daerah lahan kering lainnya. Unhan RI juga telah melakukan pengeboran di 141 titik wilayah yang terdampak kekeringan.
  4. Kerjasama dengan TNI: Kementerian Pertanian bekerjasama dengan TNI untuk mengatasi dampak El Nino yang mengurangi luas tanam hingga 20% s.d 30%. Langkah ini bertujuan untuk memastikan produksi pangan pada bulan Maret hingga Juni tetap dalam kondisi aman. Meskipun saat ini ada musim panen, tindakan preventif perlu dilakukan mulai sekarang untuk periode Juni hingga Oktober.

Rektor Unhan RI menjelaskan bahwa Unhan RI mendapatkan prioritas tugas untuk pompanisasi dan pipanisasi guna menyediakan air yang digunakan untuk pengairan lahan. Program-program yang telah dilaksanakan dan yang akan datang termasuk:

  • Tahap Pertama: Program pompanisasi dan pipanisasi telah diterapkan di wilayah Kabupaten Gunung Kidul, DIY, seluas 1000 hektar. Ini merupakan langkah awal untuk memastikan pasokan air yang cukup bagi lahan pertanian.
  • Tahap Kedua: Program ini akan diperluas ke tahap kedua dengan mengairi lahan seluas 10.000 hektar.
  • Tahap Ketiga: Unhan RI akan melaksanakan pompanisasi dan pipanisasi yang menjadi target Kementerian Pertanian, yaitu seluas 500.000 hektar di wilayah Jawa dan 500.000 hektar di luar Jawa. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan air dan produktivitas pertanian secara luas.

Boediastoeti Ontowirjo, Deputi Bidang Kebijakan Riset dan Inovasi BRIN (FGD ROAFERIAN #2, “Strategi Riset dan Inovasi Menghadapi El Nino Menuju Pertanian Modern Berkelanjutan”, 2023), menjelaskan bahwa dalam konteks pertanian berkelanjutan, dampak El Nino mencakup berbagai gangguan dan tantangan seperti kekeringan, peningkatan perkembangbiakan hama, kebakaran hutan, degradasi lahan, masalah irigasi, dan peternakan. Dia menyoroti pentingnya kebijakan riset dan inovasi yang berfokus pada adaptasi, mitigasi, dan ketahanan pertanian terhadap perubahan cuaca dan iklim terkait dengan fenomena El Nino.

Ontowirjo juga memaparkan dua kebijakan utamanya. Pertama, terkait dengan pengembangan varietas tanaman toleran kekeringan, dimana riset bertujuan untuk mengidentifikasi, mengembangkan, dan memperkenalkan varietas tanaman yang tahan kekeringan dan produktif dapat mengurangi risiko kerugian panen akibat El Nino. Kedua, praktek pertanian berkelanjutan, yang melibatkan riset mengenai pengelolaan air yang efisien, pupuk, pestisida, dan rotasi tanaman, dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap perubahan cuaca ekstrim.

Selain itu, dalam upaya peningkatan produktivitas melalui teknologi pertanian, riset mengenai penggunaan teknologi modern seperti pemantauan tanaman berbasis sensor, sistem informasi geografis, teknik pemupukan, dan penyiraman presisi dianggap sebagai langkah penting. Ontowirjo menekankan bahwa kolaborasi antara Pusat Riset dan Organisasi Riset menjadi kunci dalam upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi pertanian.

Tri Puji Priyatno, Kepala Pusat Riset Peternakan, mengungkapkan hasil FGD dengan menyoroti dampak luas El Nino dalam berbagai bidang, termasuk klimatologi, meteorologi, hidrologi, agronomi, dan sosial-ekonomi. Meskipun menimbulkan dampak negatif pada sektor pertanian, El Nino juga membawa potensi untuk meningkatkan produksi, seperti pemanfaatan lahan rawa. Tri menegaskan bahwa teknologi yang ada untuk mengantisipasi dampak El Nino sudah banyak dikembangkan dan perlu disatukan dalam sistem pertanian cerdas iklim. Dia menekankan perlunya peningkatan dan pemutakhiran terus-menerus terhadap sistem pertanian cerdas iklim dengan memanfaatkan teknologi modern dari riset yang komprehensif. Lebih lanjut, Tri menggarisbawahi bahwa El Nino seharusnya tidak dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai anugerah yang datang dari Yang Maha Kuasa, yang harus diantisipasi dan ditanggulangi dengan baik. Dia juga menekankan pentingnya strategi transfer teknologi hasil riset dan inovasi melalui media dan institusi yang efektif sebagai penghubung antara peneliti atau lembaga riset dengan pengguna akhir, seperti petani. Menurutnya, perbaikan terus-menerus pada sistem penelitian pertanian nasional diperlukan untuk membangun ekosistem inovasi yang akan menjadi jembatan antara lembaga riset dan pengguna akhir.

Langkah-langkah strategis yang diambil oleh Kementan dan lembaga terkait menunjukkan upaya serius pemerintah dalam mengatasi dampak El Nino pada sektor pertanian. Namun, perlu dilakukan evaluasi dan monitoring secara berkala untuk memastikan efektivitas dan efisiensi dari program-program tersebut. Pertimbangan tentang Bagaimana biaya untuk pembangunan infrastruktur, pengoperasian, dan pemeliharaan, Bagaimana dampak pada ekosistem sungai, seperti mengganggu habitat ikan dan hewan air lainnya. Apakah dapat menimbulkan konflik sosial antara pengguna air, seperti petani, industri, dan masyarakat umum. Pertimbangan ini bukan untuk mengkronfontasi kebijakan yang sangat baik dari pemerintah, melainkan menjadi dasar pemikiran agar sinergitas pelaksanaanya dapat berjalan dengan efektif dan efisien.

Pompanisasi Bengawan Solo telah dilakukan sejak tahun 1980-an. Pompa air dipasang di beberapa titik di sepanjang sungai untuk mengalirkan air ke daerah-daerah yang mengalami kekeringan. Program ini telah membantu meningkatkan hasil panen padi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pompanisasi sungai-sungai besar di Jawa dapat menjadi solusi alternatif untuk mengatasi kekeringan dan memastikan pasokan air untuk pertanian. Namun, perlu dilakukan kajian mendalam untuk meminimalkan dampak negatif dan memastikan keberlanjutan program ini.


Peran Universitas Pertahanan Indonesia dalam Mendukung Sektor Pertanian

Unhan dapat memiliki peran penting dalam mendukung kegiatan pertanian di Indonesia melalui program pompanisasi dan pipanisasi, penelitian dan pengembangan teknologi, pelatihan dan edukasi bagi petani, serta membantu petani dalam mengakses pasar. Dalam pengalamannya, Unhan RI pernah berperan dalam mengembangkan teknologi tepat guna untuk program menemukan titik air di 20 desa di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang kekurangan air bersih. Tim Unhan RI yang terdiri dari para ahli air, dipimpin oleh Dekan Fakultas Logistik Militer Unhan RI telah berhasil membuat alat bor sendiri yang sebelumnya harus didatangkan dari luar daerah. Hal ini menunjukkan bahwa Unhan RI mampu menghasilkan teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat. Unhan RI menunjukkan peran aktifnya dalam mendukung ketahanan pangan nasional melalui program pompanisasi dan pipanisasi. Program ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat dan bangsa Indonesia

Berikut beberapa poin penting terkait peran Unhan RI yang bisa jadi diimplementasikan dalam program ini yaitu:

  • Mengembangkan teknologi tepat guna: Unhan RI telah mengembangkan teknologi tepat guna untuk pompanisasi dan pipanisasi air yang sesuai dengan kondisi geografis dan kebutuhan masyarakat setempat.
  • Membangun infrastruktur air: Unhan RI telah membangun infrastruktur air, seperti sumur bor dan sistem pipanisasi, untuk mengalirkan air dari sumbernya ke desa-desa yang membutuhkan.
  • Memberikan pelatihan kepada masyarakat: Unhan RI memberikan pelatihan kepada masyarakat tentang cara mengelola dan memelihara infrastruktur air yang telah dibangun.
  • Bekerja sama dengan berbagai pihak: Unhan RI bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti pemerintah daerah, TNI, dan masyarakat setempat, untuk memastikan keberhasilan program ini.


Kolaborasi antara Kementerian, Lembaga Terkait,Sektor Swasta dan Masyarakat

Kolaborasi antar lembaga pemerintah merupakan kunci untuk mengatasi dampak perubahan iklim dan meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia. Hal yang perlu menjadi perhatian dalam kolaborasi adalah bagaimana membangun sistem koordinasi dan komunikasi yang efektif antar lembaga terkait untuk memastikan kesatuan visi, misi, dan aksi. Koordinasi dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mempermudah koordinasi dan komunikasi antar lembaga. Disertai juga dengan melakukan diseminasi informasi dan edukasi kepada masyarakat tentang program yang akan dilakukan.

Selain itu perlu dilakukan penguatan kelembagaan dengan membangun sistem monitoring dan evaluasi yang efektif untuk mengukur kemajuan dan dampak program. Tentunya ini akan berdampak pada peningkatan anggaran dan pendanaan untuk program dan kegiatan kolaborasi. Sehingga kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di bidang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta ketahanan pangan dapat diperkuat.

Melibatkan pemangku kepentingan lain, seperti sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil dalam program dan kegiatan kolaborasi tidak kalah pentingnya. Dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program dan kegiatan kolaborasi. Sehingga terbangun kemitraan yang kuat dan saling menguntungkan antar berbagai pihak.

Lembaga pendidikan seperti Unhan RI misalnya dapat berperan dalam Penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan teknologi dan inovasi yang tepat guna dalam mengatasi dampak perubahan iklim dan meningkatkan ketahanan pangan. Memanfaatkan teknologi dan inovasi yang sudah ada untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas program dan kegiatan kolaborasi. Bahkan sangat memungkinkan bagi Unhan RI untuk melibatkan mahasiswa dalam pengembangan sistem aplikasi rantai pasok (supply chain) untuk membantu alokasi dan distribusi pupuk bersubsidi demi meningkatkan efektivitasnya atau bahkan sampai ke distribusi hasil pertanian. Dengan sistem digitalisasi ini dapat mengotomatisasi tugas-tugas manual, seperti pencatatan data, pelacakan pengiriman, dan manajemen persediaan. Hal ini dapat menghemat waktu dan biaya, serta meningkatkan akurasi data. Pemanfaatan sistem ini juga dapat memberikan informasi yang real-time tentang pergerakan produk dan stok di seluruh rantai pasokan. Hal ini memungkinkan semua pemangku kepentingan untuk melacak kemajuan dan mengidentifikasi potensi masalah serta memudahkan koordinasi bagi pemangku kepentingan.


Semoga dengan tulisan ini kita dapat memahami lebih dalam tentang bagaimana upaya pemerintah dan lembaga terkait dalam menghadapi tantangan perubahan iklim terhadap sektor pertanian di Indonesia, serta apa saja langkah-langkah konkret yang diambil untuk meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani.



Referensi:

AWARE ID

AWARE ID, Author

Kami adalah komunitas yang fokus pada kajian ilmu pengetahuan tentang pertahanan khususnya Peperangan Asimetris atau disebut juga dengan Asymmetric Warfare.

Comments - 0

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *