
Abstrak
Artikel ini mengulas dinamika pasar minyak dan pangan global dalam konteks geopolitik, kebijakan tarif, serta laporan proyeksi pasokan dan permintaan terbaru dari lembaga internasional seperti International Energy Agency (IEA) dan United States Department of Agriculture (USDA). Dengan pendekatan interdisipliner, analisis ini menunjukkan bahwa harga energi dan komoditas agrikultur pada 2025–2026 bukan hanya ditentukan oleh fundamental ekonomi, namun juga oleh arah kebijakan luar negeri dan potensi konflik geoekonomi. Artikel ini berargumen bahwa transisi global ke arah proteksionisme dan ketidakpastian geopolitik justru memperlemah stabilitas jangka panjang pasar komoditas.
1. Pendahuluan
Komoditas seperti minyak dan bahan pangan kerap menjadi indikator awal dari instabilitas global. Volatilitas harga bukan sekadar refleksi dari ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan, tetapi juga cerminan dari konstelasi politik internasional. Ketika Amerika Serikat pada pertengahan 2025 mengancam tarif sebesar 30% terhadap impor dari Uni Eropa dan Meksiko—dan bersamaan dijadwalkan mengumumkan sanksi baru terhadap Rusia—dampaknya tidak hanya dirasakan dalam perdagangan barang, tetapi juga pada sentimen pasar energi global.
2. Dinamika Pasar Minyak: Antara Sanksi dan Struktur Permintaan
Laporan bulanan IEA (2025) menunjukkan bahwa pertumbuhan permintaan minyak global untuk tahun 2025 dipangkas menjadi hanya 700.000 barel per hari (b/d)—level terendah sejak krisis keuangan 2009, jika periode Covid-19 dikecualikan. Pertumbuhan ini bahkan lebih rendah dibanding proyeksi 2026 yang dipatok pada 720.000 b/d. IEA menyebut penyebab utama adalah melemahnya konsumsi energi dari negara berkembang, terutama akibat tekanan inflasi dan transisi energi yang belum sepenuhnya stabil【1】.
Namun di sisi lain, pasokan global justru naik signifikan, terutama dari OPEC+ yang mulai mengembalikan produksi pasca pemangkasan besar-besaran 2022–2024. IEA memperkirakan pasokan meningkat sebesar 2,1 juta b/d di 2025, dan tambahan 1,3 juta b/d di 2026【1】. Ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan ini memperbesar risiko surplus struktural, terutama di kuartal IV 2025.
Sementara itu, spekulan di pasar berjangka ICE Brent meningkatkan posisi net long sebesar 55.630 lot, mencapai total 222.347 lot—indikasi keyakinan jangka pendek terhadap potensi lonjakan harga akibat faktor geopolitik【2】. Namun, ini juga memperlihatkan ketimpangan antara sentimen pasar dan kenyataan fundamental, menciptakan potensi "bull trap" yang berbahaya bagi investor institusional.
3. Tarik Ulur Geoekonomi: Tarif dan Sanksi Sebagai Senjata Non-Konvensional
Tarif dagang bukan lagi sekadar alat fiskal, melainkan instrumen tekanan geopolitik. Pemerintahan AS di bawah Presiden Trump telah menunjukkan kecenderungan menggunakan kebijakan proteksionis untuk memaksa negosiasi ulang dengan mitra dagang utama. Ancaman tarif terhadap UE dan Meksiko menciptakan ketegangan struktural dalam rantai pasok energi dan manufaktur, yang pada gilirannya menekan permintaan bahan bakar dan energi【3】.
Jika dikombinasikan dengan kemungkinan sanksi baru terhadap sektor energi Rusia, maka akan terjadi kombinasi tekanan permintaan dan tekanan pasokan—dua arah yang secara bersamaan dapat menciptakan distorsi harga ekstrim dalam jangka pendek. Sejarah membuktikan bahwa sanksi terhadap Rusia pasca-2014 dan pasca-2022 berhasil menaikkan harga minyak dalam jangka pendek, namun menciptakan jalur perdagangan baru yang lebih sulit dikendalikan【4】.
4. Ketahanan Pangan Global dalam Transisi: Fokus pada Jagung, Kedelai, dan Gandum
Laporan terbaru USDA (2025) mengungkap bahwa produksi jagung AS untuk musim 2025/26 dipangkas sebesar 115 juta bushel, menjadi 15,7 miliar bushel, akibat penurunan luas lahan tanam. Stok akhir nasional turun menjadi 1,66 miliar bushel—lebih rendah dari ekspektasi pasar. Stok global pun turun menjadi 272,1 juta ton【5】.
Berbeda dengan jagung, produksi kedelai tetap relatif stabil, namun penurunan ekspor menyebabkan peningkatan stok akhir domestik dari 295 juta menjadi 310 juta bushel, sementara stok global naik menjadi 126,1 juta ton. Ini menunjukkan kondisi kelebihan pasokan ringan, yang berpotensi menekan harga kedelai【5】.
Untuk gandum, walaupun produksi nasional naik (1,929 miliar bushel), peningkatan ekspor justru menurunkan stok akhir menjadi 890 juta bushel. Stok global ikut turun menjadi 261,5 juta ton. Dinamika ini mencerminkan bagaimana perubahan iklim dan fluktuasi permintaan ekspor menciptakan volatilitas pada pasokan pangan strategis【5】.
5. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Ketegangan tarif global, risiko sanksi energi, dan ketidakseimbangan struktural pasokan-permintaan menjadi faktor dominan yang membentuk outlook komoditas global tahun 2025–2026. Sementara pasar energi dikuasai oleh spekulasi jangka pendek yang tidak selalu sejalan dengan kondisi fundamental, pasar pangan menghadapi tantangan yang lebih nyata: perubahan iklim, gejolak geopolitik, dan keterbatasan lahan produksi.
Rekomendasi Strategis:
- Negara berkembang perlu memperkuat strategi ketahanan energi dan pangan nasional, termasuk diversifikasi impor dan peningkatan cadangan strategis.
- Pelaku pasar harus mengembangkan kerangka analisis risiko geopolitik sebagai bagian dari strategi investasi komoditas.
- Pemerintah dan regulator internasional sebaiknya memperkuat koordinasi multilateralisme, agar tarif dan sanksi tidak menjadi alat tekanan sepihak yang merusak stabilitas jangka panjang pasar global.
Referensi
- International Energy Agency (2025), Oil Market Report – July Edition, IEA.
- ICE Futures Europe (2025), Weekly Commitment of Traders Report.
- Bown, C. P., & Irwin, D. A. (2019). "Trump’s Trade War Timeline." Peterson Institute for International Economics.
- Connolly, R., & Hanson, P. (2016). "Import Substitution and Economic Sovereignty in Russia." Chatham House.
- USDA (2025), World Agricultural Supply and Demand Estimates (WASDE) – July Report.
Comments - 0